Sabtu, 01 November 2008

Illative Sense: Sebuah Pengantar

Berbagai fenomena yang akhir-akhir ini muncul pada abad ini seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme, pragmatisme, “budaya instan” dan lain-lain, sebagian besar sangat dipengaruhi oleh maraknya perkembangan pasar (kapitalisme) dan globalisasi. Kedua faktor tersebut - di samping berbagai unsur penyebab yang lain - bersumber dan berpusat pada kekuatan manusia yang ingin meraih segala hal. Ada keinginan untuk berkuasa. Dan persoalan ini sebenarnya sudah dimulai dan terjadi khususnya dalam modernitas. Dalam dunia modern, manusia mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan rasionalitas sebagai pintu dalam memahami dan menaklukkan realitas. Itu sebabnya, dalam kerangka berpikir modern, agama dan hal-hal spiritual sulit untuk mendapat tempat. Dunia modern lebih menganggap penting pada hal-hal yang dapat diukur, didemonstrasikan, direkayasa dan dibuktikan. Akibatnya, realitas yang dipahami hanyalah sebatas material, fisik dan natural saja. Di luar itu, manusia dalam kerangka berpikir modern cenderung mengabaikan atau bahkan menentangnya.[1]

Munculnya gerakan fundamentalisme sebagai counter atas sekularisme dan liberalisme yang menjalar akhir-akhir ini patut ditelaah lebih dalam lagi.[2] Ada kerinduan akan nilai-nilai religius yang sudah lama tidak dihiraukan manusia. Ada kesadaran baru akan pentingnya nilai-nilai spiritualitas sebagai pegangan dan pedoman hidup manusia. Ada harapan akan agama yang dipandang sebagai jalan pembebasan dalam hidup manusia. Dengan kata lain, banyak orang mulai jenuh dan bosan dengan tawaran modern yang kerap kali merasionalisasi segala kebutuhan manusia. Padahal, manusia terutama sangat dahaga akan nilai-nilai spiritual dan ilahi yang mampu membangkitkan semangat hidupnya sendiri. Manusia tidak melulu terlibat pada mentalitas angka dan presisi akal dan rasio saja melainkan juga meliputi wilayah rasa, keindahan, seni, cinta dan lain-lain. Dan kesadaran akan perubahan paradigma ini mulai menggejala di awal-awal abad ini. Setelah pudarnya dunia modern –sering disebut dengan kebangkitan dunia postmodern- manusia beralih dan memusatkan diri pada kesadaran internal dirinya. Manusia mengarahkan diri pada nilai-nilai religius yang kini menjadi daya yang sangat penting dalam perkembangan hidup manusia.

Apakah orang sungguh-sungguh membutuhkan Allah atau agama agar hidup lebih baik? Atau Allah hanya semata-mata sekedar diandaikan ada dan diperlukan karena demi tujuan manusia belaka? Apakah kita bisa mendefiniskan Allah? Kalau tidak bisa, bagaimana mungkin kita bisa membicarakannya. Barangkali, kita hanya berbicara pada level “gagasan” tentang Allah sedemikian sehingga Allah sungguh berperan dan bermakna dalam hidup kita. Orang sekarang ini masih mempertanyakan atau masih memperkarakan siapa Allah itu. Berbagai pandangan dari banyak pemikir telah melahirkan sekumpulan gagasan dan tawaran dalam pendekatan pada siapa atau apa Allah itu. Dan ternyata, dunia modern pun telah menunjukkan gejala yang sama yakni hilangnya kepercayaan pada Allah. Dunia modern atau modern worldview telah mulai membaharui paradigma berpikir dari deduktif menjadi induktif. Modernisme ditandai dengan adanya komitmen yang tegas pada kebebasan. Ada upaya untuk melepaskan diri dari kekuatan otoritas tertentu dan menggantinya dengan pengalaman dan akal. Modernisme melihat dunia secara mekanis yakni berdasar pada pandangan pengalaman secara particular akan dunia.

Di samping itu, merosotnya kepercayaan pada Allah disebabkan oleh adanya persoalan kejahatan. Ada kontradiksi antara esensi Allah yang maha baik dan maha kuasa dengan pengalaman atau fakta adanya kejahatan, penderitaan, peperangan, pembunuhan dan lain-lain. Allah yang disebut omnipotent seharusnya bisa melenyapkan segala kejahatan dan derita yang justru makin sering terjadi. Modernisme juga mempertanyakan kebenaran Allah atau Kitab Suci yang pada kenyataannya dipakai untuk melegitimasi kekuasaan, penindasan dan tindakan kejahatan lainnya. Dengan kebangkitan sains, kebenaran supernatural mulai diragukan dan dipertanyakan. Modernisme mulai meninggalkan adanya pengalaman akan Allah yang dianggap tidak mungkin dijelaskan secara pasti.

Menghadapi gejala-gejala dan gelagat yang terjadi tersebut, postmodernisme lewat paradigma dan worldviewnya sendiri merombak dan mendekonstrusksi modernisme. Akan tetapi, banyak orang lupa bahwa postmodernisme tidak memberikan solusi atas kritikan terhadap modernitas. Postmodernisme hanya sebatas menghancurkan pola pikir modern yang sok pasti dan postif/empiris. Namun, John Henry Newman justru memberikan sebuah tawaran yang bisa memecahkan persoalan modernitas. Lewat illative sense, Newman sebetulnya telah menjawab kelemahan modernisme yang telah diungkapkan oleh postmodernisme. Dengan kata lain, sebetulnya Newman dapat dikatakan sebagai seorang postmodern yang konstruktif. Ia telah mengantisipasi jawaban atas persoalan yang akan muncul kemudian.

Oleh karena itu, illative sense menjadi tawaran konkret yang masuk akal dan realistis. Illative sense dari John Henry Newman sebetulnya adalah daya intrinsik yang sudah ditawarkan bahkan sejak modernitas mulai berkembang. Dalam dunia modern, gaung illative sense memang belum terasa karena banyak orang lebih percaya pada empirisme, rasionalisme bahkan materialisme yang lebih berkembang dan berpengaruh. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang mendesak dewasa ini illative sense itu bagai “obat penawar yang diminum untuk menyembuhkan berbagai penyakit”. Krisis identitas diri, kelompok bahkan iman sendiri menjadi trend atau gelagat postmodernisme yang tak tebendung lagi. Illative sense itu semacam “ramuan obat kuno untuk penyakit zaman sekarang”.

Apakah sungguh illative sense sebagai jawaban akan fenomena yang muncul belakangan ini? Pertanyaan ini menjadi sebuah gagasan reflektif sekaligus tantangan. Gagasan reflektif karena pertanyaan tersebut menggugat kemampuan illative sense dalam menjawab perkembangan zaman: apakah illative sense mampu memberi solusi tidak hanya pada persoalan-persoalan yang timbul dalam modernitas tetapi terutama dalam menghadapi gelagat postmodernisme sekarang ini. Menjadi sebuah tantangan sebab relevansi illative sense sungguh dipertaruhkan. Apakah illative sense mempunyai dampak yang sungguh berarti dalam dunia postmodern? Berdasarkan kerinduan manusia akan bentuk spiritual dan religius serta kebutuhan akan Gereja khususnya Katolik, illative sense sebagai jawaban atas berbagai persoalan dan gelagat postmodernisme tampaknya menjadi tawaran yang optimis. Gereja Katolik secara khusus melalui Paus sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik menganjurkan untuk kembali membaca karya para pemikir dan teolog yang dianggap dapat membela iman Katolik. Hilangnya identitas kekatolikan bahkan sejak zaman modern memicu para pemimpin Gereja agar menganjurkan umat untuk melihat dan merefleksikan kembali orang-orang yang dapat menjadi fundasi iman kekatolikan. Salah satu filsuf dan teolog yang dianjurkan tersebut adalah John Henry Newman.[3]

Posisi Gereja sendiri dalam menghadapi situasi zaman khususnya modernisme berada dalam dua sisi atau dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, Gereja mengadakan gerakan modernisme Katolik dalam menentang Protestantisme. Lewat pengetahuan rasional dan logis, Gereja Katolik memperbaiki pandangan yang hanya mengadalkan iman semata. Di sisi lain, Paus Pius X, menulis ensiklik Pascendi Dominici Gregis (1907) untuk melawan modernisme itu sendiri. Dalam ensiklik tersebut, Gereja membeberkan berbagai kelemahan dan kecenderungan modernisme yang dianggap bisa mempengaruhi Gereja ke arah yang kurang baik.

John Henry Newman hidup di awal abad ke-19. Pada masa itu, berbagai aliran filsafat muncul sebagai sinyal kebangkitan dunia modern. Kiblat pada rasionalisme, empirisme dan materialisme sangat kentara dan berpengaruh dalam peradaban manusia. Sejarah Gereja mencatat bahwa sekitar tahun-tahun tersebut, gerakan Reformasi muncul sebagai tanda pembaharuan terhadap Gereja Katolik. Akibatnya, Gereja sendiri mengadakan perubahan secara mendasar baik sebagai counter atas Reformasi Prostestan maupun konstruksi dan perbaikan internal di dalam Gereja Katolik sendiri. Berbagai pemikiran dan karya besar teolog dan ahli Gereja bermunculan. Semuanya ingin memperbaiki dan bahkan mempertahankan iman kekatolikannya dengan caranya masing-masing. Salah satunya adalah John Henry Newman.

Newman dan berbagai pemikir lainnya berupaya mengembalikan nilai-nilai katolisitas di tengah banyaknya goncangan dan kritikan terhadap Gereja. Melalui proses dan caranya sendiri, pada akhirnya karya-karya Newman dijadikan oleh Gereja sebagai fundasi iman bagi umat Katolik bahkan sampai saat ini. Akan tetapi tidak seluruh gagasan dan karya Newman yang akan dijelaskan dan diuraikan dalam tulisan ini. Lewat berbagai bukunya, penulis ingin mengangkat kembali illative sense dari Newman yang tidak hanya tepat sebagai jawaban atas persoalan modern tetapi juga telah mengantisipasi gerakan dan kerumitan yang terjadi saat sekarang ini. Dengan kata lain, illative sense menjadi tawaran untuk mentransformasi dan mengurai gelagat postmodernisme dewasa ini. Dunia postmodern yang juga bisa disebut dengan istilah neo-modern, telah menggugat dan mengkritik kepastian dan rasionalitas yang diagung-agungkan oleh modernisme. Empirisme dan dunia fakta yang sok pasti mulai diragukan kebenarannya.

Pada prinsipnya, tulisan ini bertujuan untuk memberikan landasan yang kuat berkaitan dengan bagaimana dan mengapa illative sense ditawarkan secara komprehensip. Secara epistemologi, tulisan ini ingin membuat ketegasan dalam melakukan justifikasi. Dalam konteks saat ini, kita mengetahui bahwa betapa tipisnya batas antara yang benar dan yang salah, antara yang baik dan yang jahat, antara yang berdosa dan yang tidak berdosa. Implikasinya, banyak orang mulai mempertanyakan bahkan meragukan apakah Allah sunguh-sungguh ada atau tidak. Keraguan yang menggerogoti manusia tersebutlah, yang menjadi tantangan sekaligus harapan akan adanya illative sense. Dengan kata lain, tulisan mengenai illative sense ini menjadi patokan, pegangan dan pijakan dalam menegaskan dan mengarahkan keraguan yang tersimpan dalam lubuk hati manusia. Maka, tulisan tentang illative sense ini terutama memberikan dasar epistemologis akan kebenaran. Oleh karena itu, illative sense dapat membantu seseorang dalam membuat keputusan yang tepat sekaligus bijaksana atas berbagai pertimbangan yang ada.

Di samping itu, tulisan ini bertujuan untuk mengubah paradigma berpikir. Berbicara tentang illative sense berarti tidak sekadar membahas persoalan fisik/materi atau hal luaran belaka (eksternal) melainkan lebih menekankan persoalan batin (internal). Jadi tulisan ini menawarkan sebuah nilai dalam mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Ada nilai yang mau digapai lewat dialog nurani dalam diri manusia. Dalam bertindak, setiap orang diajak untuk mendengarkan suara hati atau hati nuraninya masing-masing. Dan tulisan ini mau menjelaskan dan memberikan penegasan atas hal tersebut.

Tulisan ini juga bertujuan untuk memberi rekomendasi dan pencerahan bagi umat Katolik secara khusus, untuk mengungkapkan dan memperteguh imannya dengan melatih illative sense yang dimiliki oleh setiap orang. Oleh karena itu, dengan adanya illative sense, setiap orang dilatih untuk bersikap kritis dalam mengekspresikan serta mempertanggungjawabkan identitas imannya. Secara natural, ternyata setiap manusia menurut Newman - dan tulisan ini mau mengangkat signifikansinya - memiliki kapasitas illative sense yang berbeda. Oleh karena setiap orang memiliki illative sense yang berbeda, maka illative sense itu perlu dilatih supaya terinternalisasi dengan baik untuk memantapkan identitas imannya sendiri. Dengan kata lain, illative sense yang kokoh mampu memberikan kepercayaan diri yang kuat dalam mempertahankan iman yang diakui masing-masing orang. Di samping itu, tulisan ini juga memberikan tawaran atau anjuran pada umat serta para pewarta iman baik dalam isi maupun metodologi tertentu yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan illative sense dalam setiap diri manusia.

John Henry Newman memakai sebuah metodologi yang istimewa dan menciptakan sebuah ungkapan epistemologis yakni “illative sense” untuk memecahkan persoalan filosofis yakni perbedaan antara kemungkinan dan kepastian. Newman menyatakan bahwa dengan menghormati iman religius, orang yang sederhana dan orang buta bahkan lebih beruntung daripada orang yang lebih intelektual bila orang yang terakhir disebut ini tidak mempergunakan pertimbangan atau pemikiran eksplisitnya dengan disposisi moral yang benar dan dengan realisasi bahwa iman melibatkan keseluruhan individual dan tidak pernah hanya sebuah persoalan logika semata. Kemampuan pikiran –menggunakan ingatan-ingatan, kemungkinan-kemungkinan, asosiasi-asosiasi, bukti-bukti, kesan-kesan, agar berpikir dan menyimpulkan dan percaya secara spontan dengan berhasil tetapi tanpa bantuan analisis yang jelas– adalah apa yang disebut Newman sebagai illative sense. Dia mencatat bahwa ada dua bahaya dalam melatih “sense” ini yaitu tahayul dan sikap eksentrik atau aneh atau sinting. Akan tetapi, tahayul bisa dikendalikan dengan elemen-elemen moral dalam tindakan iman seperti kesucian, ketaatan dan kesadaran akan tanggung jawab. Dalam argumentasinya, ada dua gagasan yang muncul. Yang pertama, akal budi secara individu mengatasi logika. Yang kedua, akal budi secara komunal seperti dalam Gereja atau negara mengatasi individu. Keduanya saling mengkoreksi dan saling melengkapi satu sama lain. Newman menyadari bahwa bukti-bukti iman itu beragam, bahwa misteri relasi kristiani berasal dari Inkarnasi dan memuncak dalam kematian dan kebangkitan Sabda menjadi daging, yang telah terjadi dalam sejarah. Konsekuensinya, dengan mengasumsikan illative sense sebagai sebuah cara mengada maka setiap orang membutuhkan atau menggunakan pelatihan dalam menjawab berbagai pertanyaan yang muncul. Newman menawarkan sebuah metode baru di mana ia percaya bahwa teologi sungguh dibutuhkan.

Illative sense adalah daya untuk menilai atau menentukan benar atau salah dalam persoalan-persoalan konkret yang secara natural berbenturan dalam setiap diskusi perkembangan doktrin. Newman mengatakan bahwa illative sense dipakai dalam 4 konteks yakni sebuah latihan mental sebagaimana ditemukan sesungguhnya dalam fakta, menyangkut proses penggunaannya, menyangkut fungsi dan ruang lingkupnya. Yang pertama, sebagai sebuah latihan dari pikiran/akal budi yang satu dan sama dalam semua persoalan konkret meskipun menggunakannya dalam ukuran-ukuran yang berbeda. Yang kedua, latihan mental dalam sebuah fakta yang berkaitan dengan hal-hal yang terbatas, sehingga suatu individu yang diberi boleh memilikinya dalam satu departemen/wilayah pemikiran, sebagai contoh, sejarah dan bukan di dalam bagian atau wilayah yang lain, sebagai contoh, filsafat. Yang ketiga, latihan mental berproses untuk mengahsilkan sebuah kesimpulan, selalu dalam cara yang sama, dengan sebuah metode pemikiran/penalaran yang dapat dianalogikan sebagai sistem kalkulasi matematika dari modem waktu yang begitu mengagumkan dengan memperluas batas-batas dari ilmu pengetahuan abstrak. Yang keempat, tidak ada kelas dari penalaran-penalaran konkret, apakah di dalam ilmu pengetahuan yang eksperimental, riset historis, atau teologi, ada beberapa test dari kebenaran dan kesalahan di dalam kesimpulan-kesimpulan kita di samping kemurnian atau kredibilitas dari illative sense yang telah memberi mereka sanksinya.

[1] Bandingkan Ignatius Bambang Sugiharto (pengantar) dalam David Ray Griffin (ed.), God and Religion in The Postmodern World (diterjemahkan oleh A. Gunawan Admiranto, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern), hlm. 11, 16-28.
[2] Ada dua gerakan teologi yang diabaikan dalam dunia modern yaitu Konservatif-Fundamentalis yang dianggap tidak ilmiah dan Liberal Modern yang dianggap hampa dan tidak signifikan. Ibid., hlm. 16.
[3] Gereja menganjurkan umat Katolik untuk membaca karya-karya dan pemikiran Newman karena memberi inspirasi yang mendalam berkaitan dengan identitas kekatolikan, apalagi setelah Newman diangkat menjadi seorang Kardinal oleh paus Leo XIII. Lihat Symposium 9-12 October 1979, John Henry Newman: The Significance His Promotion to The Cardinalate, hlm. 251-252. Lihat juga John T. Ford (editor in chief), Newman Studies Journal Volume 1 Number 1, hlm. 35.

Rabu, 30 Juli 2008

"13 Conversation about One Thing"

Kebenaran Tak Pernah Mutlak
Saya mulai dari judul. Judul film “13 Conversations About One Thing” tampaknya tidak biasa dan bukannya tidak disengaja. Angka 13 (tiga-belas) saja sudah mengundang tanya. Film ini sudah diawali dengan rasa ingin tahu, yang terselip dibaliknya suatu “kebenaran” yang telah menjadi mitos dengan sebuah artificial makna. Angka 13 tentu saja identik dengan angka sial bagi banyak orang dan bahkan sudah ada dalam berbagai peradaban kuno, dan telah diimani lama oleh kaum anti-revolusioner yang akrab dengan dunia kaku yang berbau “mistis” serta tabu dengan perubahan. Angka 13 adalah angka keramat dengan berbagai kemalangan dan kesialan yang mengiringinya.

Oleh karena itu, angka 13 kerap dihindari, diabaikan dan diacuhkan demi mencegah suatu persoalan, kerumitan masalah bahkan bencana. Semua atribut konotatif angka 13 itu telah menjadi sebuah “kebenaran” bagi orang zaman sekarang. Ironisnya, kita percaya pada “kebenaran” tersebut dan berupaya untuk menantikan sesuatu yang buruk pada orang yang berkaitan dengan angka 13 itu. Lebih parah lagi, kita tidak begitu mudah untuk mengubah pandangan akan “kebenaran” kita pada angka 13 itu bila suatu saat kita menemukan fakta “tidak terjadi apa-apa” berkaitan dengan angka sial itu. Ada banyak kebenaran yang kita temukan dan tak jarang kita ciptakan sendiri. Sayangnya, kita lupa bahwa kebenaran itu bukanlah suatu kebenaran mutlak yang harus terjadi sesuai dengan kehendak kita manakala ada banyak kejadian dan peristiwa yang persis terbalik dengan apa yang kita pandang sebagai kebenaran sebelumnya.

Film “13 Conversations About One Thing” persis mau mengatakan hal yang kontras dengan “kebenaran” yang telah lama kita agungkan itu. Sebagaimana kita percaya bahwa angka 13 adalah angka sial, maka dalam fim tersebut kita akan dibawa pada percakapan dimana kita terlibat di dalam “kebenaran-kebenaran” lainnya. Seakan-akan kita masuk pada kebenaran yang diciptakan oleh beberapa tokoh di dalamnya. Adanya peristiwa dan momen-momen yang berseberangan dengan “kebenaran” yang kita percayai sebelumnya, tentu saja menyebabkan kita akan sulit untuk menghancurkan pegangan yang telah lama kita ciptakan dan kita seakan tidak mau lepas dari paradigma yang ada dalam pikiran kita sendiri.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah berkaitan dengan One Thing. 13 percakapan pada dasarnya membahas sebuah ketersambungan yang sama yakni mempersoalkan One Thing. One thing itu tampaknya adalah kegembiraan (happy), atau lebih tepat saya menyebutnya sebagai “kebenaran”. Sekelompok orang hidup secara terpisah dan tanpa sadar mempunyai interkoneksitas yang subtil sehingga membawa mereka pada sebuah pertemuan yang ganjil: Ada pengacara muda yang melarikan diri setelah menabrak seorang gadis, seorang profesor universitas yang istrinya menjadi korban dari hidup berkeluarga, seorang manajer perusahaan asuransi yang bermasalah dengan mantan isterinya serta anaknya, dan seorang gadis muda yang ditabrak mobil. Semua dari mereka menginginkan sebuah kegembiraan atau bahkan kebahagiaan dengan memegang teguh “kebenaran” mereka masing-masing. Setiap orang memiliki cita-cita kebahagiaan sendiri dan ingin menggapainya dengan cara “kebenaran”-nya sendiri.
Akan tetapi, di saat mereka mencarinya, timbul sebuah peristiwa yang seolah bertolak belakang dengan apa yang mereka idam-idamkan. Film ini sungguh sebuah film tentang kehidupan. Film “13 Conversations About One Thing” mau mengungkapkan One Thing yang tidak bisa dilepaskan dari hidup manusia begitu saja. Film ini memunculkan sebuah nilai dari hidup yang paradoks atas “kebenaran” yang telah lama dibangun.

Kebenaran dalam “13 Conversation about One Thing”

Film yang di sutradarai oleh Jill Sprecher ini ditulis oleh Jill Sprecher sendiri bersama Karen Sprecher dan produsernya adalah Beni Atoori dan Gina Resnick. Para pemainnya adalah Matthew McConaughey ( sebagai Troy), John Turturro (Walker), Clea DuVall (Beatrice), Amy Irving (Patricia), Alan Arkin (Gene), Barbara Sukowa (Helen), Tia Texada (Dorrie) and Frankie Faison (Dick Lacey). Gagasan dasar “13 Conversation about One Thing” adalah mencari ketersambungan di antara hidup manusia. Ketersambungan tersebut sebenarnya sudah dimulai sejak awal percakapan antara Troy dan isterinya. Lantas 13 percakapan yang dipisahkan oleh judul-judul kecil (ada 12 yakni Show me a happy man, You look so serious, Ignorance is bliss, I once meet a happy man, this happines is a curse, Fuck guilt, Ask yourself if you’re happy, Fortune smiles at some and laugh at others, Wisdom comes suddenly, I can never go back, The mind is it’s own place, I’m ready to surrender, Eighteen inches of personal space) itu seolah-olah membuat keterpisahan satu dengan yang lain. Padahal sebenarnya tetap ada ketersambungan dan bahkan ada korelasi yang semakin jelas bila melihat secara keseluruhan berbagai karakter yang kita lihat dalam film tersebut.

Troy, Gene, Walker, Beatrice mempunyai kehidupan yang saling berhubungan dalam beberapa even. Troy bertemu dengan Gene di sebuah bar, menabrak Beatrice di jalan dalam sebuah kecelakaan lantas menjual mobilnya kepada Walker. Melalui relasi yang tidak kronologis ini, kita terlibat dalam drama personal dimana semua orang memiliki kegembiraan yang relatif dan betapa tidak terprediksinya hidup itu. Dalam “13 Conversation about One Thing”, setiap karakter memiliki moment kegembiraan dan memiliki pengharapan dari “kebenaran” dalam hidupnya yang pada akhirnya bisa diubah oleh episode yang tidak diharapkan. Dengan kata lain, kebenaran yang mereka abadikan dalam sebuah tindakan tak pernah mutlak dalam sebuah kenyataan.

Gene menjadi pusat dari seluruh alur kisah ini. Gene mempunyai masalah dengan anaknya, Ronnie yang kecanduan narkoba dan hidup perkawinannya yang hancur-berantakan. Kehidupan keluarganya membuat hidupnya sangat tidak bahagia dan bersikap sarkastik kepada orang-orang yang bekerja bersamanya. Kebenaran menurutnya adalah bahwa setiap orang telah ditentukan hidupnya sedemikian sehingga seorang pecundang akan tetap menjadi pecundang dan pemenang akan tetap menjadi seorang pemenang. Gene juga akhirnya mengambil sebuah keputusan dengan memberhentikan Wade Bowman salah seorang yang bekerja di perusahaannya. Gene berpikir bahwa Bowman, seorang yang optimistik dan paling berbahagia akan kehilangan kebahagiannya setelah ia memecatnya. Akan tetapi, ternyata Bowman tidak merasa kehilangan kegembiraannya segera setelah ia diberhentikan. Kebenaran yang dibangun oleh Gene serta merta tidak sinkron dengan apa yang ia hadapi dan alami.

Troy, seorang pengacara berhubungan dengan Gene ketika keduanya sedang minum dengan alasan yang berbeda berada di bar yang sama. Ia merayakan kegembiraan bersama dengan teman-temannya karena ia memenangkan kasus besar dalam pengadilan. Troy merasa sebagai seorang pemenang dalam hidupnya. Kebenaran menurut Troy adalah seseorang yang merasakan kegembiraan, dan kebahagiaan tersebut tidak akan pernah diambil daripadanya. Orang yang berbahagia adalah orang yang beruntung dan ia merasa sebagai seorang pemenang yang dipenuhi dengan kemujuran. Hidup Troy mulai berubah ketika ia menabrak Beatrice dan lantas menjual mobilnya.

Walker, seorang Profesor yang tidak merasa bahagia dalam pernikahannya dengan Patricia. Ia merasa perkawinan keduanya akan berakhir. Suatu saat ketika makan bersama, isterinya bertanya kepada Walker : “Apa yang kamu mau?”. Walker menginginkan sesuatu seperti setiap orang juga menginginkannya yaitu: menjalani kehidupannya, bangun dengan antusias, dan mendapatkan kebahagiaan. Orang yang bahagia menurutnya adalah orang kaya dengan harta berlimpah dan menjalani rutinitas dengan gembira dan ringan. Itulah kebenaran yang Walker idam-idamkan dan apa yang ia alami persis kebalikannya. Walker yang melakukan hubungan unfair dengan wanita lain di tempat kerjanya akhirnya hidup sendiri dalam sebuah ruangan yang sempit. Tidak hanya kehilangan isterinya, ia juga kehilangan kebenarannya yang identik dengan “irreversibility”. Ia merasa dan berpikir bahwa segala sesuatu tidak bisa ditarik kembali ke asalnya. Kebenaran menurutnya adalah R= Vo √2h/g. Kebenaran itu serta merta menjadi invalid ketika salah seorang muridnya mati dan jatuh ke bawah. Kalau berdasarkan teorinya maka seharusnya si anak tidak jatuh ke rumput dan jarak jatuh si anak tidak jauh dari bangunan di sebelahnya. Dengan kata lain, teorinya patah karena ternyata si anak tersebut lompat dari jendela.

Beatrice adalah seorang gadis muda yang membersihkan rumah orang kaya. Bersama Dorrie temannya, ia membayangkan apa yang akan terjadi bila seseorang hidup di tempat yang menakjubkan. Beatrice yang hampir mati saat kecil tidak memiliki pengalaman yang pahit. Dia adalah seorang anak yang baik kepada siapapun. Akan tetapi hidupnya berubah setelah ditabrak. Setelah pulang dari rumah sakit bersama dengan ibunya, Beatrice mengalami transformasi dalam memandang dan menghayati hidupnya. Dia tetap menjadi seorang yang baik dengan sikap yang berbeda. Kebenaran menurut Beatrice di awal adalah segala sesuatu pasti ada sebabnya dan Tuhan itu bersikap adil pada semua orang. Kebenarannya menjadi ganjil dan berubah ketika ia mendapat musibah. Ia akhirnya mengatakan bahwa Tuhan memang tidak adil dan mempertanyakan apa sebabnya ia ditabrak, mengapa baju putih terlepas dari tanganya, mengapa ia berdiri di tepi jalan dan mengapa ia dituduh mencuri jam orang dirumah tempat ia bekerja.

Wade Bowman selalu melihat segalanya baik dan menilai segala sesuatu dari sisi positif terhadap hidupnya. Bagi dia, tidak ada persoalan kendati ada masalah yang menimpanya ketika ia diberhentikan dari sebuah perusahaan. Ia melihat sebuah kegembiraan yang selalu melimpah pada dirinya dan ia bagikan kepada orang lain di sekitar kerjanya. Pandangan yang selalu “positive-thinking” ini menjadikannya tanpa beban dalam menjalani kehidupannya. Kebenaran bagi dia adalah sebuah kegembiraan dan keberuntungan dalam setiap hidupnya. Oleh karena itu, ia selalu menjalin relasi yang baik kepada siapa saja termasuk terhadap Gene yang telah memberhentikannya. Dia selalu menawarkan senyum setiap saat kendati sedang mengalami keterpurukan dan sedang dilanda masalah sekalipun. Akan tetapi kebenaran Bowman tidak dapat dikatakan mutlak karena keberuntungan dan kemujurannya dengan mendapat pekerjaan baru adalah hasil dari usaha Gene yang mencarikannya pekerjaan tanpa sepengetahuan Bowman.

Kegembiraan, Kebenaran dan Cinta

Pikiran yang paling mulia adalah selalu pikiran yang berisi kegembiraan. Sabda yang paling murni adalah kata yang berisi kebenaran. Perasaan yang paling agung adalah perasaan yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai cinta. Kegembiraan, kebenaran dan cinta: ketiganya dapat dibolak-balik dan yang satu selalu membawa ke yang lainnya. Urutan tidak penting. Kalau setiap orang merasa dan berpikir sebagai satu-satunya kebenaran, siapa lagi yang perlu berbicara kepada Tuhan. Setiap orang kerap melupakan bahwa kebenaran yang dipegang teguh oleh setiap manusia hanyalah ilusi yang dapat merintangi jalan menuju Tuhan sendiri. Apa yang terjadi seandainya segala sesuatu yang dikira “salah” ternyata benar? Kita tidak dapat mengenal Tuhan sebelum kita berhenti memberitahu diri kita sendiri bahwa kita sudah mengenalnya. Kita tidak dapat mendengar Tuhan sebelum kita berhenti berpikir bahwa kita telah mendengar-Nya. Tuhan tidak dapat memberitahu kita akan kebenaran-Nya sebelum kita berhenti memberitahu Tuhan akan kebenaran kita sendiri. Oleh karena itu, dengarkanlah perasaan kita, dengarkan pikiran termulia kita sendiri, dan dengarkan pengalaman kita. Kapan saja salah satu darinya berbeda dengan apa yang telah kita dengar sebelumnya, lupakan kata-kata tersebut. Di mana saja kita menemukan salah satunya berbeda dengan pemahaman kita sebelumnya, segera lupakan “kebenaran” kita itu.

Suatu hal hanya benar atau salah karena kita mengatakannya demikian. Suatu hal pada dasarnya tidak benar atau salah secara hakiki. Benar atau salah bukanlah kondisi intrinsik melainkan penilaian subjektif dalam sistem nilai pribadi. Dengan penilaian subjektif, kita menciptakan diri kita sendiri. Dengan nilai pribadi, kita menentukan dan menunjukkan siapa diri kita. Ide kita tentang benar dan salah hanyalah sebuah ide. Dengan pikiran kita menghasilkan ide yang lantas dapat menciptakan hakikat siapa diri kita. Hanya ada satu alasan untuk mengubah semua itu. Hanya ada satu maksud dalam membuat perubahan yakni kalau kita tidak bahagia dengan siapa diri kita. Hanya kita sendiri yang dapat mengetahui kalau kita bahagia. Hanya kita sendiri yang dapat berkata tentang hidup kita. Kalau nilai-nilai kita berguna, berpeganglah padanya. Berdebatlah deminya. Berjuanglah untuk membelanya. Namun berusahalah untuk berjuang tanpa mencelakai orang lain. Akan tetapi, yang terjadi adalah sangat sedikit pertimbangan nilai yang telah kita masukkan dalam kebenaran kita adalah pertimbangan yang berasal dari orang lain. Akibatnya, kita sering menciptakan diri kita melalui pengalaman orang lain. Kita sering membantah pengalaman kita sendiri demi apa yang diperintahkan untuk kita pikirkan.

We are All One

Tuhan sebenarnya sudah berbicara kepada banyak orang, dalam banyak cara dan sudah bertahun-tahun lamanya. Ironisnya, hanya sedikit orang saja yang mau mendengarkan dan mau berbagi kepada orang lain. Dan dari sedikit orang tersbut, kebanyakan telah berhasil merubah dunia. Mereka adalah pewarta yang membawa kebenaran sebaik yang mereka pahami dan semurni yang mereka ketahui. Meskipun mereka menangkap dengan filter-filter mereka, pada hakikatnya mereka sudah membuka kesadaran akan kebijaksanaan yang luar biasa. Mereka telah membawa keuntungan yang menakjubkan dan mereka memiliki kesamaan dalam perkataan-perkataan mereka: “Kita semua adalah satu”. Segala hal memancar dari “Yang Satu” yang kemudian memecah menjadi banyak termasuk menjadi seperti kita sekarang ini. Jadi sebenarnya kita mempunyai satu suara. Pada awalnya, pikiran kita adalah milik-Nya dan milik-Nya adalah milik kita. Segala sesuatu memancar dari satu sumber yang menerangi segala sesuatu sehingga muncul proses individuasi dari The Oneness in many form. The Oneness in many form itulah yang kita sebut dengan kehidupan. Kehidupan itu adalah Tuhan sendiri yang ditafsir ke dalam berbagai bentuk. Proses individuasi itu dimulai dari unified non-physical menjadi individuated physical. Dari individuated physical berubah menjadi unified physical dan kembali ke unified non-physical.

Kita semua adalah totalitas dari Tuhan. Kita diciptakan oleh Tuhan sehingga kita pun adalah bagian dari-Nya. Jika saja kita memilih pengalaman ini yakni bersatu dengan Tuhan, kita akan mengetahui damai dan mengalami cinta yang sungguh dan penuh kebebasan. Jika saja kita memilih kebenaran ini, kita akan mengubah dunia. Jika saja kita memilih realitas ini, kita akan menciptakan dan akhirnya mengalami dengan penuh siapa kita sebenarnya. Maka kita tidak perlu melakukan banyak hal. Yang kita lakukan cukup hanya menjadi Tuhan karena kita dan Tuhan adalah satu. Unifikasi dengan Tuhan dan dengan segala hal serta segala yang hidup menandakan bahwa kita adalah satu. Anggapan bahwa kita tidaklah satu adalah ilusi. Banyak orang percaya pada Tuhan tetapi mereka tidak percaya pada Tuhan yang percaya pada mereka. Tuhan percaya pada mereka mencintai mereka lebih dari yang mereka tahu. Gagasan bahwa Tuhan berhenti berbicara pada manusia adalah salah. Anggapan bahwa Tuhan marah pada manusia dan mengeluarkannya dari surga adalah salah. Anggapan bahwa Tuhan sebagai hakim dan juri dalam memutuskan nasib manusia adalah salah. Tuhan itu mencintai setiap manusia yang pernah hidup, yang hidup sekarang dan yang akan hidup. Keinginan Tuhan adalah agar setiap jiwa kembali kepada-Nya. Tuhan tidak terpiash dari apapun dan tidak ada yang terpisah dari-Nya. Tidak ada yang dibutuhkan oleh Tuhan karena Tuhan adalah segalanya.

Kita sekarang dan telah selalu dan akan selalu menjadi satu bagian ilahi dari keseluruhan ilahi, anggota kumpulan. Itulah sebabnya tindakan menggabungkan kembali keseluruhannya, kembali kepada Tuhan disebut dengan kenangan. Kita sebenarnya memilih untuk kembali menjadi anggota siapa diri kita sebenarnya atau bergabung bersama dengan berbagai bagian dari diri kita untuk mengalami segala-Nya. Karena itu, tugas kita adalah bukan untuk belajar tetapi untuk kembali menjadi anggota dari Siapa diri kita dan untuk kembali menjadi anggota dari setiap orang lain. Itulah sebabnya satu bagian besar dari tugas kita adalah untuk mengingatkan orang lain sehingga mereka pun dapat kembali menjadi anggota pula. Dalam Yang Absolut tidak ada pengalaman, yang ada hanya mengenal. Mengenal adalah keadaan ilahi, namun kegembiraan terbesar adalah menjadi. Menjadi dicapai hanya setelah mengalami. Evolusinya adalah mengenal, mengalami dan menjadi. Keberadaan sederhana ini adalah kebahagiaan. Dia adalah keadaan Tuhan setelah mengetahui dan mengalami Dirinya sendiri. Dia adalah apa yang dirindukan Tuhan pada mulanya.

Tak ada yang kebetulan, tak ada apapun yang terjadi secara “kebetulan”. Setiap peristiwa dan petualangan dipanggil ke diri kita oleh diri kita agar kita dapat menciptakan dan mengalami siapa diri kita sebenarnya. Yang diperlukan hanyalah mengetahui ini. Karena kita adalah pencipta relitas kita, dan hidup tak dapat muncul dengan cara lain bagi kita daripada dengan cara yang kita pikirkan. Kita memikirkannya hingga ada. Ini adalah langkah pertama dalam penciptaan. Pikiran adalah orang tua yang melahirkan segala sesuatu. Rahasia terdalamnya adalah bahwa hidup bukanlah proses penemuan melainkan proses penciptaan. Kita tidak sedang menemukan diri kita sendiri tetapi menciptakan ulang diri kita. Karena itu, berusahalah tidak untuk menemukan siapa diri kita melainkan beruasahalah untuk menentukan Diri yang Kita cita-citakan. Kita berada di sini untuk mengingat, menciptakan kembali siapa diri kita. Sejatinya, kalau kita tidak menciptakan diri kita sebagai siapa Diri kita, kita tidak akan menjadi diri kita. Hidup adalah suatu kesempatan bagi kita untuk mengetahui berdasarkan pengalaman apa yang telah kita ketahui secara konseptual. Kita hanya perlu mengingat apa yang telah kita ketahui dan bertindak menurut hal itu.

Akan tetapi, kita sering menyangkal pikiran yang kita miliki dan kita telah menyangkal diri kita karena rasa takut. Apa yang sangat kita takutkan akan terjadi dan dialami. Emosi adalah energi yang sedang bergerak. Saat memindahkan energi, kita telah menciptakan efek. Pikiran adalah energi yang murni. Setiap pikiran yang kita miliki, yang pernah kita miliki dan yang akan selalu kita miliki bersifat menciptakan. Energi pikiran kita tak akan pernah mati. Selamanya. Energi itu meninggalkan tubuh kita dan keluar menuju alam semesta selamanya meluas. Pikiran adalah abadi. Semua pikiran membeku; semua pikiran bertemu dengan pikiran-pikiran lain, sambil saling menyilang dalam labirin energi yang luar biasa, membentuk pola keindahan yang tak terucapkan dan kompleksitas yang tak masuk akal yang terus berubah. Cinta adalah realitas tertinggi. Satu-satunya. Segalanya. Perasaan cinta adalah pengalaman kita tentang Tuhan. Dalam kebenaran teragung, cinta adalah satu-satunya yang ada sekarang, satu-satunya yang ada dulu, dan satu-satunya yang akan selalu ada. Saat kita masuk ke dalam yang absolut, kita masuk ke dalam cinta. Pada kenyataannya, setiap orang mempunyai tendensi dasar untuk melupakan relasi bahwa kita mempunyai hubungan yang satu dengan yang lain dan dengan berbagai cara kita menyentuh kehidupan orang lain dan sebaliknya banyak orang yang menyentuh dan berperanan dalam hidup kita. Sebab apa? Sebab kita adalah satu. Tidak ada yang kebetulan sebab semua bersumber dari Yang Satu. Kebenaran, kebahagiaan dan cinta hendaklah mengarah pada satu kesatuan, bahwa kita adalah satu.